MAKALAH TENTANG INTERAKSI EDUKATIF DISEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk Zhon
Politicon, sehingga hidup manusia akan selalu berhubungan satu dengan yang
lainya dalam berbagai bentuk situasi dan komunikasi. Diantara berbagai jenis
situasi itu terdapat satu jenis situasi khusus yakni situasi edukatif, yakni
interaksi yang berlangsung dalam tujuan pendidikan. Dalam interaksi edukatif
memunculkan istilah guru,disatu pihak, dan anak didik, dipihak lain. Keduanya
berbeda dalam interaksi edukatif dengan posisi, tugas, dan tanggung jawab yang
berbeda, namun bersama-sama mencapai tujuan.
Lingkungan sekolah merupakan lingkungan sosial bagi siswa sebagai anggota
masyarakat termasuk segala sesuatu yang menyangkup gejala yang menyangkut
kegiatan belajar mengajar, oleh karena itu sosialisasi yang dilakukan siswa di
sekolah akan nampak dari partisipasi siswa dalam kegiatan sekolah. Sosialisasi disekolah disertai pula dengan adanya hubungan interpersonal
yang baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan pembimbing,
dan siswa dengan personil.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari interaksi
edukatif?
2.
Bagaimana definisi dari kelompok?
3.
Bagaimana interaksi edukatif anak
didik?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian interaksi
edukatif.
2.
Memahami definisi kelompok.
3.
Memahami interaksi edukatif anak
didik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Interaksi Edukatif
Interkasi edukatif dapat
diartikan sebagai suatu aktivitas relasi berbagai elemen edukatif, baik
pendidik, staf administrasi, maupun anak didik. Istilah interaksi pada umumnya
adalah suatu hubungan timbal balik antara individu satu dengan individu yang
lain yang terjadi pada lingkungan masyarakat atau selain lingkungan masyarakat.
Mereka dengan bersama-sama memiliki kesadaran dalam menciptakan suatu iklim
pendidikan dan pembelajaran disekolah untuk menghasilkan sumberdaya manusia
(anak didik) yang berkualitas dan
handal sesuai perkembangan zaman.
Interaksi edukatif menurut Shuyadi dan Abu Achmadi adalah “suatu
hubungan antara pendidik (Guru) dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan pendidikan”
Sedangkan menurut Sudirman A.M pengertian interaksi edukatif dalam
pengajaran adalah “proses interaksi yang disengaja, sadar akan tujuan,
yakni untuk mengantarkan anak didik ketingkat kedewasaanya”.
Dari beberapa pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian interaksi edukatif antara guru dan
murid adalah suatu proses hubungan timbal balik yang sifatnya komunikatif,
dilakukan dengan sengaja, direncanakan, serta memiliki tujuan tertentu. Dengan
demikian dalam interaksi edukatif ada dua unsur utama yang harus hadir dalam
situasi yang disengaja, yaitu antara Guru dan Siswa.
B.
Definisi
Kelompok (Group)
Beberapa definisi kelompok, antara
lain, diungkapkan Joseph S. Roucek bahwa suatu kelompok meliputi dua atau lebih
manusia yang diantara mereka terdapat beberapa pola intraksi yang dapat
dipahami para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan. Mayor Polak
mengatakan bahwa kelompok sosial adalah suatu group, yaitu sejumlah orang yang
ada hubungan antara satu dengan yang lain dan hubungan itu bersifat sebagai
sebuah struktur. Wila Huki (1986) menuturkan bahwa kelompok merupakan suatu
unit yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang saling berintraksi atau
saling berkomunikasi.[1]
Jadi, dapat diungkapkan bahwa
kelompok (group) menurut perspektif sosiologi adalah sekumpulan dua
orang atau lebih yang saling berinteraksi dan terjadi hubungan timbal balik
dimana mereka merasa menjadi bagian dari kelompok tersebut.[2]
Kamanto Sunarto (2004) menyebutkan
berbagai klasifikasi kelompok sosial dari berbagai pakar. Biersted membedakan
empat jenis kelompok sosial berdasarkan ada tidaknya organisasi, hubungan
sosial diantara anggota kelompok, dan kesadaran jenis, yaitu kelompok
statistik, kelompok kemasyarakatan, kelompok sosial, dan kelompok asosiasi.
Merton mengungkapkan kelompok merupakan sekelompok orang yang saling
berintraksi sesuai dengan pola yang telah mapan, sedangkan kolektiva merupakan
orang yang mempunyai rasa solidaritas karena berbagai nilai bersama dan yang
telah memiliki rasa kewajiban moral untuk menjalankan harapan peran. Konsep
lain yang di ajukan Merton ialah konsep kategori sosial.
Durkheim membedakan antara kelompok
yang didasarkan pada solidaritas mekanik dan kelompok yang didasarkan pada
solidaristas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai
masyarakat yang sederhana, sedangkan solidaritas organis merupakan bentuk
solidaritas yang sangat kompleks yang telah kenal pembagian kerja yang rinci
dan dipersatukan oleh kesaling tergantungan antara bagian.[3]
Cooley memperkenalkan konsep
kelompok primer. Sebagai lawannya, sejumlah ahli sosiologi menciptakan kelompok
sekunder. Suatu klasifikasi lain, yaitu pembedaan antara kelompok dalam dan
kelompok luar, didasarkan pada pemikiran Summer. Summer mengemukakan bahwa
dikalangan antara anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama,
keteraturan, dan perdamaian. Sedangkan interaksi antara kelompok dalam dan
kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang, dan perampokan.
Menurut Persons Variabel pola merupakan seperangkat dilema universal yang
dihadapi dan harus dipecahkan seorang pelaku dalam setiap situasi sosial.
Suatu klasifikasi yang diungkapkan
Geertz dari masyarakat jawa ialah pembedaan antara sub-tradisi abangan, santri,
dan priyayi. Menurut Geertz pembagian masyarakat yang ditelitinya kedalam tiga
tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pandangan diantara mereka. Organisasi
birokrasi yang oleh weber mengandung sejumlah prinsip. Prinsip tersebut hanya
dijumpai pada birokrasi yang oleh weber disebut tipe ideal, yang tidak akan
kita jumpai dalam masyarakat.
Secara umum organisasi dapat
didefinisikan sebagai kelompok manusia yang berkumpul dalam suatu wadah yang
mempunyai tujuan sama, dan bekerja untuk mencapai tujuan itu. Organisasi
merupakan unit sosial yang dengan sengaja di ciptakan dalam arti bahwa pada
saat tertentu telah di ambil suatu keputusan untuk mendirikan sebuah sekolah
guna memudahkan pengajaran sejumlah mata pelajaran yang beraneka ragam.
Sekolah juga di bentuk kembali,
dalam arti bahwa setiap orang-orang berhubungan satu sama lain dalam kontek
sekolah; ada yang mengajar, ada yang bersusah payah untuk belajar, dan ada yang
membersihkan ruangan, menyediakan makanan atau berbagai sekolah, Philip
Robinson (1987: 238), mengunkapkan sekolah sebagai suatu organisasi. Meskipun
sekolah merupakan benda yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua, college-college
bagi orang banyak, kemampuan kita untuk menjelaskan dan menggeneralisasikan
cara kerjanya dengan cara agak mendalam masih di batsi oleh
kekurangan-kekurangan dalam analisis.[4]
Lebih lanjut, Robinson (1987)
mengatakan bahwa organisasi itu sendiri oleh kelangkaan telaah empiris yang
layak dalam bidang pendidik. Berlangsungnya terus ketiadaan suatu teori yang
koheren dan dapat di terima secara umum mengenai sekolah sebagai organisasi
mungkin merupakan oetunjuk bahwa hal ini hanya berhadapan suatu khayalan
sosiologi belaka. Kompleksitas lembaga-lembaga pendidikan adalah demikian rupa
sehingga tidak ada teori umum yang dapat menggambarkan nuansa dan kekhasan
lembaga-lembaga yang unik tanpa menimbulkan kesan dangkal dan spele.
Kemajuan suatu negara tidak terlepas
dari kualitas pendidikan pada negara itu. Suatu bangsa yang terbelakang dalam
kualitas pendidikan merupakan salah satu faktor kendala untuk bangkit dari
kemiskinan. Pengalaman dari banyak negara maju di dunia, ternyata pembangunan
sektor pendidikan menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembagunan. Dalam
kata lain, jika suatu negara ingin menjadi di perhitungkan keberadaan di tengah
masyarakat global, pendidikan haruslah menjadi perhitungan dalam program
pembangunan.[5]
C.
Interaksi
Edukatif Anak Didik
Dalam perspektif pedagogik, anak
didik mempunyai sebuah potensi yang perlu dikembangkan melalui proses
pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Kebutuhan anak di atas disebut homo
educandum. Potensi anak didik yang bersifat laten tersebut dapat di
akutualisasikan agar anak didik tidak lagi di sebut lagi sebagai animal
aducable, sejenis binatang yang memungkinkan dididik, tetapi harus dianggap
sebagai manusia,. Sebagai manusia, anak didik memiliki potensi akal yang harus
di kembangkan agar menjadi kekuatan sebagai manusia yang bersusila dan
berkecakapan sebagai modal kehidupan nyata.[6]
Sebagai manusia, anak didik memiliki
karekteristik, seperti dikatan Imam Barnadib, et.al. dalam Djamarah (2005),
anak didik mempunyai sejumlah karakteristik:
1.
belum memiliki pribadi dewasa susila
sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik.
2.
masih menyempurnakan aspek tertentu dari
kedewasaan nya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik.
3.
memiliki sifat-sifat dasar manusia yang masih
berkembang secara terpadu, yaitu kebutuhan biologis, rohani, sosial,
inteligensi, emosi, kemampuan berbicara, anggota tubuh untuk berkerja (kaki,
tangan dan jari), latar belakang biologis (warna kulit, bentuk tubuh, dan lain
sebagainya), serta perbedaaan individual.[7]
Dalam melaksanakan interaksi anak
didik yang perlu diketahui pendidik, dengan melihat ciri tertentu sebagai
individu, baik dari segi fisik maupun psikis dalam perkembangan dan
pertumbuhanya. Setidaknya ada tiga aspek tentang karakteristik anak didik.
1.
Perbedaan biologis, diana anak didik
memiliki jasmani yang tidak sama kendatipun dari satu keturunan yang sama.
2.
Perbedaan intelektual, yang merupakn
salah satu aspek yang slalu aktual untuk di perbicarakan karna ikut menentukan
keberhasilan pembelajaran. Whiteringtton (1984) mengatakan bahwa seseorang
dikatakan inteligen bila yang bersangkutan memiliki kemampuan menyesuaikan diri
dengan cepat tanpa mengalami suatu masalah. Seorang yang sulit beradaptasi
dikatakan tidak inteligen.[8] Gambaran
hasil tes inteligensi dinamakan inteligence quotient (IQ). Perbedaan
individual pada aspek inteligensi ini perlu dipahami pendidik, terutama
pertalian dengan pengelompokan anak didik di kelas. Anak yang kurang cerdas di
kelompokan pada anak yang level cerdasnya sama dengannya, agar yang
bersangkutan terpacu untuk kreatif dalam belajar. Pendidik juga, dengan cara
ini, diharapkan lebih mudah memberikan bimbingan tentang cara belajar yang
baik.
3.
Perbedaan psikologis, dimana setiap
anak didik berbeda secara lahir dan batin. Untuk memahami anak didik, seorang
pendidik dapat melakukan pendekatan secara individual. Dengan memerhatikan
kebutuhan anak didik, seorang pendidik dapat melakukan bimbingan dengan baik
dan tepat guna memberi motivasi anak dalam belajar. Sukses tidaknya dalam
proses pendidikan dan pembelajaran edukatif disekolah, salah satunya, sangat di
tentukan pendidik.
Ahmad Rizali, dkk. (2009)[9] bahwa
pendidik (guru) adalah manusia biasa karenanya tedapat bermacam ragam cara dan
kreatifitasnya dalam melaksanakan tugas dalam mencerdaskan generasi masa depan.
Lingkungan pergaulan pendidik dan suasana keluarga nya setidaknya akan
memengaruhiya dalam menjalankan tugas mulia sebagai pendidik. Saat ini,
kualitas pendidik di tanah air berbeda jauh dengan zaman sebelumnya, katakan
lah dengan zaman orde baru, pendidik dihormati karna kualitas, kompetensi,
komitmen, dan ketulusan dalam bidangnya.
Seperti diketahui, bahwa pendidikan
dapat dikatakan sebagai upaya sadar, terencana dan sistematis dalam upaya
memanusiakan manusia. Sosiologi pendidikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari
sluruh aspek pendidikan, baik berupa struktur, dinamika, masalah pendidikan, dan
aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
Salah satu aspek pokok pembahasan sosiologi pendidikan, adalah hubungan antar
manusia disekolah.
Pendidikan, secara sederhana, dapat
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadianya sesuai dengan
nlai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembanganya,
istilah pendidikan atau paedagogie berarti membimbing atau pertolongan
diberikan dengan sengaja dilakukan orang dewasa agar anak didik menjadi dewasa.
Pendidikan diartikan pula sebagai usaha yang dijalankan orang lain agar menjadi
dewasa atau mencapai hidup atau penghidupan lebih tinggi dalam arti mental.
Hasbullah (2005)[10]
mengatakan bahwa terdapat pengertian pendidikan yang di berikan para ahli
pendidikan, antara lain:
1.
Langeveld, mengatakan bahwa
pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang
diberikan anak kepada anak yang tertuju kepada pemdewasaan anak, atau lebih
tepatnya sebagai upaya membantu anak agar bisa cakap melakukan tugas hidupnya sendiri.
2.
John Dewey (2006), mengatakan bahwa
pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
3.
Driyakara mengungkapkan pendidikan
adalah pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ketarap insani.
4.
Ahmad D. Marimba (1981), menuturkan
bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya
kepribadian utama.
5.
Ki Hajar Dewantara, mengekspresikan
bahwa pendidikan yaitu tuntunan dalam hidup dengan tumbuhnya anak-anak, adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagian yang optimal.
6.
Dalam UU No. 2/1989, bahwa
pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pegajaran, dan latihan bagi peranannya dimasa akan datang.
7.
Dalam UU No.20/2003, bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keterampilan,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang di perlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Dari beberapa definisi pendidikan diatas, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang terencana dan
tersistematis dalam memanusiakan manusia.
Murid-murid disekolah sering menunjukan
perbedaan asal kesukuan/etnis, agama, adat istiadat, dan kedudukan sosial.
Berdasarkan perbedaan itu mungkin timbul golongan minoritas dikalangan
murid-murid, yang tersembunyi atau pun yang nyata. Kelompok dalam sekolah dapat
dikategorikan berdasarkan:
1.
Status sosial orang tua murid.
Status sosial orang tua sangat memengaruhi pergaulan siswa. Tidak dapat
dipungkiri, seorang siswa merupakan anak pejabat akan cenderung bergaul dengan
teman yang selevel. Hal ini dapat terjadi pada pergaulan didalam maupun di luar
sekolah.
2.
Hobi/minat/kegemaran.
Kesamaan/minat/hobi mendorong timbulnya rasa kebersamaan diantara mereka.
Anak-anak yang suka olahraga sepak bola cenderung intensif bergaul dengan teman
se-club mereka.
3.
Intelektualitas. Ada peluang terjadi
kelompok berdasarkan tingkatan intelektualitas mereka, meskipun ini tidak
dominan. Orang pintar karna biasanya suka membaca lebih sering berada
diperpustakaan dari pada dikantin. Kehidupan mereka disekolah benar-benar padat
dengan kegiatan akademis.
4.
Jenjang kelas. Perbedaan jenjang
kelas ini merupakan faktor dominan yang sering terjadi di sekolah. Biasanya
anak kelas tiga yang merasa lebih tua sering berbuat sesuka kepada adek
kelasnya. Anak-anak kelas satu karena takut dengan seniornya lebih nyaman
bergaul dengan teman-teman satu tingkatnya. Hal ini menyebabkan pergaulan
mereka menjadi terkotak-kotak dan kurang harmonis.
5.
Agama. Adapula peluang terbentuknya
kelompok karna persamaan agama. Kegiatan perayaan dan peribadatan yaang mereka
anut sering mempertemukan mereka dalam kebersamaan dan kepemilikan. Namun
demikian, ini bukanlah faktor dominan dikalangan anak sekolah.
6.
Asal daerah. Kesamaan asal daerah
selanjutnya memberikan peluang bagi terbentuknya kelompok di sekolah, namun
bukan juga merupakan faktor dominan. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar
siswa di sekolah tersebut berasal dari daerah yang sama.
Bertalian dengan interaksi antar
kelompok disekolah dapat dijelskan bahwa sebagai sebuah komunitas sosial
sekolah juga tidak akan luput dari masalah dalam interaksi antar kelompok.
Masalah tersebut antara lain adalah gap atau kesengajaan antar kelompok.
Stigma kelompok minoritas sering muncul dipermukaan, dimana kelompok dalam
kuantitas yang sedikit cenderung diabaikan baik secara fisik maupun kebijakan.
Istilah gang menjadi trend anak sekolah saat ini. Gang
adalah refresentasi dari kekuatan siswa dalam lingkungan pergaulanya disekolah.
Ikatan psikologis emosional sering menyebabkan terjadi perkelahian antar
pelajar, meskipun hanya karna persoalan spele.
Ada beberapa
upaya yang dapat dilakukan pendidik atau sekolah untuk mengatasi masalah yang muncul dalam
interaksi antar kelompok, di antaranya sebagai berikut:
1.
pemberian informasi, diskusi
kelompok, hubungan pribadi, dan sebagainya.
2.
guru dapat menceritakan bagaimana
setiap kelompok itu sangat berpengaruh terhadap kelompok lain.
3.
menanamkan nilai-nilai toleransi
antar siswa. Nilai toleransi ini sangat penting. Jika mereka mempunyai sikap
murid-murid lain ke arah toleransi yang lebih besar. Guru dapat memobilisasi
tenaga-tenaga ini untuk memupuk sikap yang sehat dikalangan murid-murid.
4.
membuka kesempatan seluas-luasnya
untuk mengadakan interaksi sosial atau pergaulan antara murid-murid dari
berbagai golongan.
5.
menggunakan tekhnik bermain peran
atau sosiodrama . peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat dimainkan dalam
kelas dalam bentuk sosiodrama dengan menyuruh golongan mayoritas memainkan
peran golongan minorotas.
6.
menggunakan kegiatan ekstra
kulikuler. Kegiatan ekstra kulikuler bisa melibatkan banyak orang dengan
berbagai latar belakang murid yang berbeda.
Wiliam L. Greene (2002)[11]
mengatakan:
...the ability of minority group
member to achieve a positive and secure self-concept is linked to the way they
come to understand their ethnic group membership within the large society.
Furthermore, the grouping numbers of ethnicity mixed, individuals raise
questions as to the importance and effect ethnic identification will have on
their internasionalization of values and attitudes towards school.
Dari ungkapan Greene diatas dapat
dijelaskan bahwa kemampuan anggota kelompok minoritas untuk memperoleh suatu
hal positif dan memiliki konsep diri (self-concept) adalah bertalian
dengan cara mereka mengerti anggota kelompok etnis mereka sendiri dalam
masyarakat lebih luas.
Sebagai implikasi dari pemahaman
terhadap perbedaan latar belakang anak didik disekolah, bagi seorang pendidik,
diungkapkan selanjutnya oleh Greene:
... student need to have
opportunities to explore personal and societal dimension of ethnic
identification, at a time their lives when cognitive develoment allows
adolscents to make statments about their personhood challenges that might
impede or subvert academic opportunity.[12]
Dapat dijelaskan bahwa anak didik
perlu memiliki peluang untuk mengeksplorasikan dimensi personal dan sosial dari
identifikasi etnis.
Interaksi edukatif dapat diartikan
sebagai suatu aktivitas relasi berbagai elemen edukatif, baik pendidik, staf
administrasi, maupun anak didik. Abu Ahmadi dan Shuyadi (1985) dalam Syaiful
Bahri Djamarah (2005)[13] mendefinisikan
“interaksi edukatif adalah suatu gambaran hubungna antara pendidik (guuru) dan
anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan”.
Dikatakan Made Pidarta (1997)[14] bahwa
pendidik memiliki dua pengertian, yakni dalam pengertian luas dan sempit.
Pendidik dalam pengertian luas, adalah semua orang yang berkewajiban membina
anak didik. Secara natural, semua anak didik, sebelum mereka dewasa menerima
pembinaan dari orang dewasa agar mereka
dapat berkembang dan tumbuh dengan wajar. Secara alamiah pula, anak didik
membutuhkan bimbingan karena mereka memiliki insting sedikit sekali untuk dapat
bertahan dalam hidupnya.
Menjadi pendidik (guru) berarti
harus trus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
perubahan sosial-masyarakat, agar dapat meningkatkan kualitas profesional yang
dimiliki sebagai pendidik. Prinsip long life education menjadi relevan
sekali ketika seseorang memilih profesi sebagai pendidik dan berharap menjadi
kompeten dan profesional. Masalah yang paling sulit dihadapi adalah masalah
nilai-nilai dalam dunia yang senantiasa berubah drastis.
Perubahan yang begitu dinamis dan
drastis itu memerlukan adaptasi para pendidik dengan bekal pengetahuan dan
keterampilan serta memiliki nilai-nilai dunia, termasuk nilai-nilai yang
bersumber dari agama, tradisi, dan budaya yang positif dan relevan yang dapat
mendukung profesi pendidik.
Tugas dan peranan seorang pendidik
sesungguhnya begitu kompleks yang tidak terbatas pada saat berlangsungnya
interaksi edukatif dikelas, dalam proses pembelajaran . seorang pendidik juga
berfungsi sebagai administrator, evaluator, konselor, fasilitator, motivator,
komunikator, dan lain sebagainya.[15]
Kemampuan pendidik berperan
signifikan dalam mencerdaskan anak bangsa
inilah yang akan memberikan corak kehidupan generasi masa depan.
Pendidik (guru dan dosen) secara formal merupakan pejabat profesional. Hal ini
dapat dilihat dari kenyataan bahwa banyak pendidik itu dalam tugasnya belum
memberikan kepuasan kepada masyarakat dengan optimal.
Peranan pendidik dalam kaitannya
dengan anak didik, tampak bermacam-macam berdasarkan situasi interaksi
sosial-edukatif dihadapinya. Interaksi
sosial-edukatif dimaksudkan seperti situasi formal dalam proses pembelajaran
dikelas maupun dalam situasi informal
diluar kelas. Dalam situasi formal, yakni dalam usaha guru mendidik dan
mengajar anak didik dalam kelas, pendidik diharapkan dapat memperlihatkan
kewibawaan dan otoritasnya, dimana pendidik harus dapat mengendalikan,
mengatur, dan mengontrol perilaku anak didik.
Adanya suatu kemajuan proses
interaksi edukatif antara pendidik dan anak didik, lebih ditentukan kompetensi
pendidik dalam proses pembelajaran. Pendidik sebagai pengembang kurikulum (curriculum
developer) di kelas, memiliki
peranan terdepan terhadap pelaksanaan pembelajaran dikelas. Interaksi edukatif
antara pendidik dan anak didik ditunjukkan pula adanya interaksi timbal balik (mutual
symbiosis) antara keduanya.
Interaksi edukatif antara pendidik
dan anak didik yang diharapkan dapat tercapai dengan optimal apabila adanya
kesadaran pendidik bahwa tugas mulia dalam mengajar dan mendidik anak didik
sifatnya komprehensif. Melaksanakan tugas sebagai pendidik haruslah dipahami
sebagai tugas mencerdaskan anak didik yang memerlukan keteladanan baik dalam
maupaun di luar sekolah.
Produk final dari interaksi edukatif
di sekolah (formal) dan di luar sekolah (informal) adalah menginginkan keberhasilan
anak didiknya. Sukses tidaknya anak didik lebih ditentukan oleh kualitas
seorang pendidik.
Interaksi edukatif hanya dapat tercipta apabila
seseorang pendidik tidak hanya memiliki kompetensi dan profesional dalam proses pembelajaran. Seorang pendidik
juga perlu memahami dimensi sosio psikologis anak didik dimana akan
mempengaruhi sukses tidaknya anak didik dalam pembelajaran. Permasalahan
intrinsik dan ekstinsik anank didik memerlukan pengerian dan motivasi tulus dan
ikhlas dari para pendidik, agar anak didik memiliki semangat atau motivasi
unggulan dalam belajar dan meraih proses pencapaian cita-cita yang didambakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Interaksi edukatif hanya bisa
tercipta apabila seorang pendidik memenuhi kompetensi dan profesionalisme dalam
proses pembelajaran juga memahami latar belakang anak didik. seorang pendidik
memenuhi peranan penting dalam menciptakan interaksi edukatif di sekolah.
Interaksi edukatif terlihat dalam pelaksanaan proses pembelajaran atau tahap-tahap
pembelajaran yang dilakukan seorang pendidik. Interaksi edukatif antara
pendidik dan anak didik yang diharapkan tercapai dengan optimal apabila adanya
kesadaran pendidik bahwa tugas mulia dalam mengajar dan mendidik anak didik itu
sifatnya koprehensif. Seorang pendidik akan merasa bahagia dan memiliki
kepuasan jika anak didiknya berhasil.
Proses interaksi edukatif ada dua yaitu, pertama, kegiatan pendidik
mengajar dengan gayanya sendiri dan kedua, kegiatan murid belajar dengan
gayanya sendiri pula.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Saiful Bahri, 2014. Guru dan Anak Didik dalam
Interaksi Edukatif di Sekolah. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Idi, Abdullah. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Rizali, Ahmad, dkk., 2009. Dari Konvensional Menuju Guru
Profesional. Jakarta: Grasindo.
[1] Abdullah
Idi, “Bahan Kuliah Sosiologi Pendidikan S1 & S2”, hlm.7-9.
[2] Abdul
Syani, Sosiologi, Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara,
2007), hlm. 105.
[3] Kamanto
Sunarto, Pengantar Sosiologi, Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga Penerbitan
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), hlm. 137.
[4] Abdullah
Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), hlm.
119.
[5] Ibid.,
hlm. 119.
[6] Lihat:
(Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta: Renika Cipta, 2014), hlm. 51-52.
[7]Lihat: Ibid.,
hlm. 51-52.
[8] Whiterington,
Psikologis Pendidikan, (Jakarta: Askara Baru, 1984), hlm. 57.
[9] Ahmad
Rizali, dkk., Dari Konvensional Menuju Guru Profesional, (Jakarta:
Grasindo, 2009), hlm. 59.
[10] Hasbullah,
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 2.
[11] Abdullah
Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), hlm.
129.
[12] Ibid.,
hlm. 129.
[13] Lihat:
(Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta: Renika Cipta, 2014), hlm. 11.
[14] Made
Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1997),
hlm. 264.
[15] B.
Suryo Subroto, Proses Blajar Mengajar di sekolah, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), hlm. 264.
Comments
Post a Comment