Makalah Tentang MAHABBAH DAN MA'RIFAH
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
“Mahabbah” adalah cinta, atau cinta
yang luhur kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan
menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan
spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap
tertinggi oleh seorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati
(ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns).
Sedangkan Ma’rifah ialah ilmu atau
pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk
memperoleh ma’rifah ialah dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan
shufi yang mereka namakan maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah
tercapai ma’rifat.
Dalam makalah ini kita akan membahas
tentang Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan, kedudukan, paham, tokoh
sufi,serta mahabah dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadits, Maka
jika ada kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian.
- RUMUSAN MASALAH
A. Apakah pengertian dari
Mahabbah dan Ma’rifah ?
B. Apakah tujuan dan kedudukan Mahabbah dan Ma’rifah menurut paham tokoh sufi ?
C. Bagaimanakah Mahabbah dan Ma’rifah menurut pandangan al-Qur’an dan al- Hadits ?
B. Apakah tujuan dan kedudukan Mahabbah dan Ma’rifah menurut paham tokoh sufi ?
C. Bagaimanakah Mahabbah dan Ma’rifah menurut pandangan al-Qur’an dan al- Hadits ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MAHABBAH DAN MA’RIFAH
Kata mahabbah berasal dari
kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara
mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Dalam Mu'jam al-Fal-safi, Jamil Shaliba
mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.
Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau
penyayang. Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada
Allah[1].
Setelah membentuk kepribadian manusia maka mahabbah akan mempengaruhi kualitas
keimanan seseorang. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: Artinya: “Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah 165).
Pengertian Ma’rifah dari segi
bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya
pengetahuan dan pengalaman, serta pengetahuan tentang rahasia hakikat agama.
Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat
zahir, tetapi bathin dengan mengetahui rahasianya. Para sufi mengatakan perihal
Ma’rifat adalah :
1. Kalau mata dalam hati
sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang
dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah cermin,
yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif
saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya Ma’rifat
mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tidak
tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah
mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah
menggambarkan kecintaan. Disebutkan
dalam sebuah Hadits Qudsi :
كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت
الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى"”
“Aku (Allah) adalah
perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku,
maka aku ciptakan mahluk. Maka Aku memperkenalkan DiriKu kepada mereka. Maka
mereka mengenal Aku” (Hadits Qudsi)
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan
bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari seluruh maqam spiritual dengan
derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan karunia pemberian langsung dari Allah, maka
ia sekali-kali tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifat adalah anugerah Allah yang didasari kasih Tuhan kepada hamba-Nya.
Adapun amal ibadah sebagai persembahan hamba kepada Tuhannya.
Adapun cara-cara untuk dapat
menuju Mahabbah dan Ma’rifat adalah :
1. Tobat, baik dari dosa besar
maupun dosa kecil
2. Zuhud, yaitu mengasingkan
diri dari dunia ramai
3. Wara (sufi), mencoba
meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat shubhat
4. Faqir, hidup sebagai orang
fakir
5. Sabar, dalam menghadapi
segala macam cobaan
6. Tawakkal, menyeru
sebulat-bulatnya pada keputusan Tuhan
7. Ridha, merasa senang
menerima segala takdir.
B. TUJUAN DAN KEDUDUKAN MAHABBAH DAN MA’RIFAH
Al-mahabbah dapat berarti
kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh
kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang
yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya
berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan. Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau
aliran dalam tasawuf. Mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Jadi,
Mahabbah artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Ma'rifah adalah pengetahuan
yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam
terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan yang satu,
dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya ma'rifah digunakan
untuk menunjukan salah satu tingkatan dalam tasawuf. Al-Ghazali[2]
menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif,
tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Tujuan
ma’rifat adalah berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada
eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.
Keutamaan mahabbah dijelaskan Rasul dalam haditsnya:
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a: Seorang lelaki yang berasal dari
pedalaman bertanya kepada Rasulullah s.a.w: Bilakah berlakunya Kiamat? Rasulullah s.a.w bersabda: Apakah persediaan kamu untuk menghadapinya? Ia
menjawab: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu
akan tetap bersama orang yang kamu cintai”.Selain itu Mahabbah dapat
mengantarkan hamba yang memiliki kecintaan tersebut di antara penghuni langit.
Sebab para malaikat akan selalu mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah
atas kedekatannya dengan-Nya, juga karena mereka selalu memenuhi perintah
Allah”.
C. PAHAM MAHABBAH DAN MA’RIFAH MENURUT TOKOH SUFI
Paham mahabbah (al hubb) pertama kali diperkenalkan
oleh Rabiah Al Adawiyah[3], Paham
Mahabbah dan Ma’rifah menurut Tokoh Sufi adalah :
-) Menurut Abu Yazid al
Bustami,"Cinta adalah mengabaikan hal-hal yang datang dari diri, dan
memandang besar hal-hal sekecil apapun dari kekasihnya". [4]
-) Menurut al-Sarraj, mahabbah
mempunyai tiga tingkat:
1. Cinta biasa, yaitu selalu
mengingat Tuhan dengan dzikir, memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan
Tuhan serta senantiasa memuji Tuhan.
2. Cinta orang yang siddiq (الصديق),
yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya,
dan lain-lain yang mana hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu
rindu pada-Nya.
3. Cinta orang yang ‘arif (العارف),
yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, tetapi diri yang damai.
-) Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang
dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan
dirinya sendiri.[5] Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an,:
( الما ئدة :
54 ).فَسَوْفَ
يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya”.
Juga hadits yang menyatakan:
وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ
اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ
سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا
“Hamba-hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya.
Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.[6]
-) Cinta menurut Ibnu
al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:
1. Cinta Ilahiyah: cinta
khaliq kepada makhluk yang diciptakan, dan cinta makhluk kepada khaliqnya.
2. Cinta spiritual: cinta
makhluk yang senantiasa mencari wujud Penciptanya. tidak memperdulikan,
mengarah atau menghendaki apapun selain sang kekasih.
3. Cinta alami: yang berhasrat
untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan
kepuasan kekasih.
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah Zunnun
al-Misri.[7]Ia
pun pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad
untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil.[8]
Ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab :
عرفت ربّى
بربّى ولو لا ربّى لما عرفت ربّى ""
“(Aku mengetahui Tuhanku
karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan
mengetahui Tuhanku)”.[9]
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan hasil usahanya sebagai
sufi, tetapi anugerah Tuhan baginya. Ma’rifah tidak diperoleh melalui pemikiran
dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat
adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya. Zunnun membagi
Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
1-Tingkat awam. “mengenal dan
mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat”.
2-Tingkat Ulama.” yang mengenal
dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal”.
3- Tingkat Sufi. “ yang
mengetahui Tuhan melalui hati sanubari”.
Istilah Tasawwuf menurut
beberapa Ulama Tasawuf antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri
mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
"المعرفة جزم القلب بوجود الواجب
الموجود متّصفا بسائر الكلمات"
:“Marifat adalah
ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah)
yang menggambarkan segala kesempurnaannya.” [10]
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad
Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang
mengatakan:
"المعرفة طلوع الحقّ, وهو القلببمواصلة
الانوار"
“Ma’rifat adalah hadirnya
kebenaran Allah (pada Shufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan
Nur Ilahi”[11]
c. Imam Al-Qusyairy dari Abdur
Rahman bin Muhammad bin Abdillah:
"المعرفة يوجب السكينة فى القلب كما انّ
العلم يوجب السّكون, فمن ازدادت معرفته ازدادت سكينته"
“Ma’rifat membuat ketenangan
dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal
pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula
ketenangan (hatinya).”[12]
keterangan Dzuun Nuun
Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila
sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya
ma’rifat dalam segala sikap dan perilakunya.
b. Tidak memutuskan
berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat
Allah yang banyak bagi dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan
yang haram.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika
mencapai tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,
bagaikan berada di muka cermin, dan yang dilihatnya hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, puncak ma’rifat adalah keadaan yang
diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya,
sehingga membawa pada kelupaan dirinya.[13]
D. MAHABBAH DAN MA’RIFAH DALAM
PANDANGAN AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
Tentang Mahabbah dapat dijumpai di dalam Al-Qur’an antara lain :
A.Surat Ali Imran ayat 31 :
قل ان كنتم تحبّون اللّه فاتّبعونى
يحببكم اللّه و يغفر لكم ذنوبكم و اللّه غفور رحيم.( ال عمران : 31 )
Artinya : Katakanlah : “ jika kamu ( benar-benar ) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan menggampuni dosa-dosamu“. Allah Maha pengasih lagi Maha penyayang”.
B.Surat Al-Ahzab ayat 4 :
ما جعل اللّه لرجل من قلبين فى جو فه
( الأحزاب : 4 )
Artinya : “Allah sekali-kali
tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya “. ( QS. Al–Ahzab : 4
)
C.Surat Al-Anam ayat 91 :
قل اللّه ثمّ ذرهم فى خوضهم يلعبون (
الأنعام : 91)
Artinya : Katakanlah : “Allahlah ( yang menurunkan )”, kemudian (sesudah
kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka ) biarkanlah mereka bermain-main dlam
kesesatannya”. ( QS. Al-Anam : 91 )
D.surat Fussilat ayat 30 :
انّ الّذين قالوا ربّنا اللّه ثمّ استقاموا
( فصلت : 30 )
Artinya : Barangsiapa
mengucpkan “ la ilaha illa Allah “ secara ikhlas, dia masuk surga”.
E. Surat Ibrahim ayat 24 :
ضرب اللّه مثلا كلمة طيّبة كشجرة
طيّبة اصلها ثابت و فرعها فى السماء ( ابرهيم :24 )
Artinya : “Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit”.(QS. Ibrahim : 24)
F. Surat Fatir ayat 10 :
االيه يصعدالكلم الطيّب ( فاطر : 10 )
Artinya : “ Kepada –Nyalah
naik perkataan-perkataan yang baik “.( QS. Fatir: 10 )
G. Hadits Riwayat Abu Hurairah
r. a :
من احبّ لقاء اللّه أحبّ اللّه لقاءه،
ومن لم يحبلقاءاللّه تعا لى لقاءه ( رواه البخارى )
Artinya : “ Barangsiapa yang
senang bertemu kepada Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Barangsiapa
yang tidak senang bertemu Allah, maka Allah pun juga tidak senang bertemu
dengannya”. ( HR. Bukhori )[14]
H. Hadits Riwayat Anas bin
Malik :
من أهان لى وليا فقد بارزني
بالمحاربة، وما تردّدت فى شئ كتردّدى في قبش نفس عبدى المؤمن يكره الموت, وأكره
مساءته, ملابدّ له منه, وما تقرّب إليّ من أداء ما افترضت عليه, ولا يزال عبدي
تقرّب إليّ با النوافل حتّى أ حبّه, و من أحببته كنت له سمعا وبصراويداومؤيّدا.
Artinya : “ Barangsiapa yang
menghina wali-Ku ( kekasih-Ku ), sesungguhnya ia telah terang-terangan
memerangi-Ku. Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan seperti Keraguan-Ku ketika
mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman. Dia benci kematian dan saya tidak mau
menyakitinya, sedangkan kematian itu pasti ada. Tidak ada sesuatu yang
paling Aku sukai yang bisa mendekatkan hamba-Ku dengan-Ku lebih dari melakukan
kewajiban yang Aku perintahkan kepadanya. Dan senantiasa mendekati-Ku dengan
melaksanakan ibadah-ibadah sunat sampai Aku mencintainya. Dan barangsiapa
yang telah Aku cintai, maka Aku mendengar, melihat, menolong, dan
mendukung-nya.”[15]
I. Nabi Muhammad SAW bersabda
:
إذا أحبّ اللّه عزّوجلّ العبد قال
لجبريل : يا جبريل إنّي فلانا فأحبّه, فيحبّه جبريل, ثمّ ينادي جبريل فىأهل
السّماء: إنّ الله تعا لى قد أحبّ فلانا فأحبّوه, فيحبّه أهل السماء, ثمّ يضع له
القبول في الأرض. وإذا أبغض اللّه عزّوجلّ عبدا قال ما لك: لا أحسبه إلاّ قال في
البغض مثل ذلك.
Artinya : “ Jika Allah telah mencintai hamba-nya, Allah berkata kepada
Jibril a.s, “ Wahai Jibril, sesungguhnya Aku mecintai fulan, maka cintai dia,
Maka Jibril pun mencintainya, Sesungguhnya Allah telah mencintai fulan, maka
cintailah dia! Maka penduduk langit pun
mencintainya. Kemudian Allah memberikan pengabulan kepadanya di bumi. Dan jika
Allah membenci seorang hamba, maka Malaikat Malik berkata, Saya tidak
menganggapnya kecuali saya membencinya seperti kebencian Allah kepadanya, “ (
HR. Imam Bukhari )[16]
E. PENUTUP
Setelah di raihnya maqam
mahabbah tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri.
Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain
nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah). Dalam buku
"Mahabbatullah" (mencintai Allah), Imam Ibnu Qayyim menuturkan
tahapanan menuju wahana cinta Allah berkaitan dengan amal, yang tergantung pada
keikhlasan kalbu, disanalah cinta Allah berlabuh. sebagai refleksi dari
disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji, bukan yang tercela dan
menjerumuskan kepada cinta selain Allah. Sudah menjadi sifat manusia, ia akan
mencintai orang baik, lembut dan suka menolongnya dan bahkan tidak mustahil ia
akan menjadikannya sebagai kekasih.
Ketertundukan hati secara total di hadapan Allah,
adalah bukti bahwa ma’rifat kepada Allah juga tertanam dalam kalbu kita,
berusaha mewujudkannya dalam setiap perbuatan, ibadah dan merealisasikannya
dalam kehidupan sehingga kita termasuk dalam golongan ma’rifatullah.
Allah tidak melarang bahkan
memerintahkan HambaNya untuk mengenal diriNya, Ma’rifat kepada Tuhan tidak bisa
ditemukan meskipun dengan menyembahnya secara benar. Ma’rifat ditemukan dengan
cara larut dengan-Nya, melalaikan dunia secara total dan terus-menerus berpikir
tentang-Nya.
BAB III
Kesimpulan
1- Mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam.Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan
tanpa syarat kepada Allah.
2- Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan,
ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Ma’rifat adalah pengetahuan
yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam
kepada bathin, dengan mengetahui rahasianya.
3- Tujuan
Mahabbah adalah untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun
spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang
dicintainya, Sedang Ma’rifah bertujuan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati sanubari.
4- Inti ajaran mahabbah adalah
merupakan sikap dari jiwa yang mengisyaratkan ke pengabdian diri atau
pengorbanan diri sendiri dengan cara mentransendenkan ego, dan menggantinya dengan
cinta.
5- Ma’rifah tidak diperoleh
melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan
rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup
menerimanya.
6- Pembahasan Mahabbah dan
ma’rifah dapat ditemukan dalam Ayat-ayat al-Qur’an al-Karim dan Hadits-hadits
rasulullah SAW.
DAFTAR
PUSTAKA
v Abul Qasim Abdul Karim hamazin
Al Qusyairi an Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, Jakarta, Pustaka Amani,
1998
v Al-Buny, Djamaluddin Ahmad. Menelusuri
Taman-taman Mahabbah Shufiyah. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002.
v Al-Hujwiri. Kasyful Mahjub.
Bandung: Mizan, 1993.
v Amin Syukur, Tasawuf Sosial,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
v Amin, M. 10 Induk Akhlak
Terpuji. Kalam Mulia, 1997.
v Armstrong, Amatullah. Kunci
Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 1996.
v H. A Mustofa, Drs, Akhlak
Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008
v H. Abudin Nata, MA, Drs, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1996
v Hamka, Tasawuf Perkembangan
dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet XI
v Harun Nasution, Prof. Dr, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), Cetakan III
v IAIN Sumatera Utara, Pengantar
Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984).
v Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995)
v Musthafa, Abdul Aziz. Mahabbatullah
Tangga menuju Cinta Allah. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
[2] bagi al-Ghazali ma'rifah urutannya
terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma'rifah. Tetapi
Mahabbah disini tidak seperti yang dimaksudkan Rabi’ah al Adawiyah. mahabbah
dalam bentuk cinta seseorang kepada yang pemberi rahmat dan rizki.
[4] Abul Qasim Abdul Karim hamazin Al Qusyairi an Naisaburi, Risalah
Qusyairiyah, Jakarta, Pustaka Amani, 1998.
[7] Tokoh sufi yang lahir di Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M, “Zunnun”
yang artinya “Yang empunya ikan Nun”.
[14] Hadits riwayat Ubaidah bin
Shamit, dikeluarkan oleh Bukhari 11/308 dalam “Ar Raqaqq” bab “ orang-orang
yang senang bertemu Allah.
[15] Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Abu
daud dalam bukunya, Al-Auliya’, Al-Hakim, Ibnu Marduwaih, Abu Nua’im
dalam Al-Asma’, dan Ibnu Aakir dari Anas.
[16] Hadits diriwayatkan Abu Hurairah, dikeluarkan oleh Muslim dalam bab “
Berbuat baik dan silaturrahmi”, dan At-Turmudzi dalam At-Tafsir.
Comments
Post a Comment